Pedulikarnivorjawa.org - Pecinta Karnivor, mari kita menelusuri kisah penuh warna dari Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), subspesies harimau yang pernah menjadi bagian penting dari keanekaragaman hayati di Pulau Jawa.
Harimau Jawa, dengan ukuran tubuh di antara Harimau Sumatera dan Harimau Bali, mengalami perjalanan tragis dari makhluk yang sering ditemui menjadi simbol kepunahan. Artikel ini akan mengungkapkan perjalanan dramatis dan tantangan yang dihadapi oleh harimau yang megah ini.
Harimau Jawa: Ciri Khas dan Ukuran
Harimau Jawa memiliki tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan Harimau Sumatera dan Harimau Bengal, tetapi masih lebih besar dibandingkan dengan Harimau Bali. Harimau jantan biasanya memiliki berat antara 100-140 kg dan panjang tubuh sekitar 200-245 cm.
Sementara itu, betina cenderung lebih kecil dengan berat sekitar 75-115 kg dan panjang tubuh sedikit lebih pendek. Ciri khas harimau ini mencakup garis-garis yang tidak terlalu tebal dan warna dasar yang lebih pucat dibandingkan dengan kerabatnya di tempat lain.
Sejarah dan Perburuan
Pada abad ke-19, Harimau Jawa menjadi ancaman di beberapa daerah perkotaan. Pada tahun 1872, hadiah yang ditawarkan untuk kepala harimau yang terbunuh mencapai 3.000 gulden, jumlah yang sangat besar untuk masa itu. Banyak harimau dibunuh dalam upaya untuk meraih hadiah tersebut. Meskipun harimau ini sering menimbulkan korban jiwa manusia dan mengganggu tanaman, penduduk setempat enggan memerangi mereka secara agresif. Mereka menyadari bahwa konflik dengan harimau dapat menyebabkan kerusakan lebih besar oleh babi hutan yang menyerbu tanaman mereka.
Seorang pemburu terkenal, Ledeboer, diketahui telah menembak 100 ekor harimau antara tahun 1910 dan 1940. Selain itu, permintaan akan topeng dan patung yang terbuat dari bagian tubuh harimau juga menambah tekanan terhadap populasi mereka. Topeng-topeng ini sering digunakan dalam pertunjukan tari tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur, memberikan insentif tambahan bagi pemburu.
Penurunan Populasi dan Upaya Konservasi
Menjelang tahun 1940, populasi Harimau Jawa mulai menurun drastis. Mereka masih sering terlihat di bagian selatan Jawa Barat, namun jumlahnya terus berkurang. Pada pertengahan tahun 1960-an, harimau ini hanya dapat ditemukan di beberapa suaka alam seperti Ujung Kulon, Leuweung Sancang, Baluran, dan Meru Betiri.
Kondisi semakin kritis ketika hutan-hutan yang tersisa mulai terfragmentasi dan menjadi semakin kecil. Beberapa kawasan yang dulunya merupakan habitat utama harimau kini berubah fungsi menjadi lahan pertanian dan perkebunan, mengurangi ruang gerak dan sumber makanan harimau.
Survai dan Penemuan Terakhir
Pada tahun 1976, survai oleh PHPA dan World Wide Fund for Nature (WWF) menemukan bahwa hanya ada tiga ekor harimau yang tersisa di Taman Nasional Meru Betiri. Meskipun ada upaya untuk melindungi mereka, tidak ditemukan bukti perkembangbiakan yang menunjukkan bahwa populasi harimau ini dapat bertahan dalam jangka panjang. Harimau-harimau ini tidak sepenuhnya memanfaatkan seluruh area hutan yang tersedia, yang semakin membatasi peluang mereka untuk bertahan hidup.
Pada tahun 1979, laporan menunjukkan bahwa hanya tiga ekor harimau masih hidup. Usaha untuk melindungi mereka menjadi sulit karena adanya konflik antara kebutuhan konservasi dan kepentingan ekonomi, seperti relokasi 5.000 buruh perkebunan. Beberapa pihak menganggap tindakan tersebut sebagai langkah yang berlebihan, sehingga usaha konservasi menjadi terhambat.
Kepunahan dan Kontroversi
Menjelang pertengahan 1980-an, Harimau Jawa tidak lebih dari sekadar simbol bagi divisi tentara Siliwangi di Jawa Barat. Walaupun beberapa ekspedisi dilakukan, tidak ada bukti yang menunjukkan keberadaan harimau ini di alam liar. Laporan mengenai penemuan jejak harimau di lereng Gunung Slamet pada tahun 1979 ternyata tidak diikuti oleh pengamatan lanjutan, menunjukkan bahwa harapan untuk menemukan harimau ini semakin tipis.
Kesulitan dalam menetapkan waktu kepunahan harimau ini berkaitan dengan kuatnya kesan budaya masyarakat terhadap harimau. Kadang-kadang, laporan mengenai penemuan harimau tunggal muncul di berbagai surat kabar, namun sering kali yang dilaporkan adalah macan kumbang (Panthera pardus) yang lebih mudah beradaptasi.
Meskipun tidak diumumkan secara resmi, banyak yang sepakat bahwa Harimau Jawa telah punah. Bukti keberadaan mereka sudah tidak ditemukan selama lebih dari 15 tahun terakhir, meskipun berbagai ekspedisi telah dilakukan. Taman Nasional Meru Betiri, dengan luas hanya 50 km², tidak cukup untuk mendukung populasi harimau dalam jumlah yang sehat.
Kesimpulan
Kisah Harimau Jawa merupakan pelajaran berharga tentang dampak perburuan, kerusakan habitat, dan tantangan konservasi. Keberadaan mereka yang megah dan peran penting dalam ekosistem hutan Jawa menggarisbawahi pentingnya upaya pelestarian untuk spesies-spesies yang terancam punah.
Pecinta Karnivor, mari kita belajar dari perjalanan tragis Harimau Jawa dan terus berkomitmen untuk menjaga keanekaragaman hayati di bumi ini. Upaya konservasi yang serius dan kesadaran masyarakat adalah kunci untuk mencegah kepunahan spesies lain yang juga menghadapi ancaman serupa.