Siapa Percaya Harimau Jawa Punah? Di Lereng Slamet Berebut Kambing, Di Jogjakarta Ninggal Kotoran

Siapa Percaya Harimau Jawa Punah? Di Lereng Slamet Berebut Kambing, Di Jogjakarta Ninggal Kotoran

Silakan percaya, Harimau Loreng koleksi kebun binatang, atau yang ada di sirkus, pasti dari sub species Harimau Sumatera. Silakan percaya pula, kalau Jawa sebenarnya punya jenis Harimau loreng. Nama kerennya Panthera tigris sondaica. Orang sekitar hutan biasa menyebut Macan Kembang Asem, Kyaine, Simbah, Gembong atau entah apapun namanya.

Perkara Harimau Jawa punah atau belum, ternyata bukan soal sepele. Selama ini antara “masyarakat ilmiah” dan masyarakat sekitar hutan terjadi silang pendapat. Para ahli menyatakan Harimau Jawa telah punah, menyusul saudara dekatnya, Harimau Bali (Panthera tigris balica). Dasarnya adalah berbagai penelitian yang dilakukan tidak pernah lagi menemukan sosok wujudnya.

Tahun 1974, penelitian Seidensticker dan Sujono di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur memperkirakan Harimau Jawa tinggal 3 - 4 ekor. Berikutnya riset WWF di tempat yang sama tahun 1994, ternyata menunjukan hasil nihil. Kamera trap sistem injak yang dipasang tidak memotret satupun sosok Harimau Jawa. Celakanya, selama ini TNMB terlanjur ditetapkan menjadi habitat terakhir Harimau Jawa. Jadinya, kesimpulan punah menjadi tidak haram lagi. Pas benar, di habitat terakhir ternyata “tidak menemukan” Macan Loreng terakhir. Ujung-ujungnya, Desember 1996, CITES memutuskan vonis punah.

“Kecelakaan” lainnya terjadi ketika pemerintah melalui Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan ikut-ikutan setuju atas klaim tersebut. Dalam buku Strategi Konservasi Harimau Sumatera halaman 4, jelas-jelas disebutkan Harimau Jawa punah. Belum lagi John Seidensticker, dalam buku terbarunya, Riding The Tiger, keluaran 1999, juga menjebloskan Macan Jawa pada label punah. Penelitian tentang Harimau Jawa berhenti, para pakar hidupan liar lantas tutup mata terhadap nasib harimau endemik Jawa itu.

Masalahnya jadi rumit ketika masyarakat tepi hutan justru yakin sebaliknya; Harimau Jawa masih ada. Masyarakat pinggiran hutan Gunung Slamet misalnya, menyatakan sering bertemu langsung saat pergi ke hutan. Kadang malah Macan Loreng itu yang dolan masuk ke perkampungan.

Masyarakat lereng barat Gunung Slamet, di Desa Krajan, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Brebes sering memergoki Macan Loreng turun ke desa. Bahkan minggu kemarin, satwa langka itu keluyuran ke dusun dan menggondol kambing milik warga. “Empat kambing milik mBok Kidem habis diambil tiap hari berturut-turut. Kandangnya dirusak, kambingnya dibunuh dan dibawa lari ke hutan,” ujar Mu’alim, perangkat desa Krajan. Mu’alim menolak kemungkinan warga salah lihat, antara Macan Tutul dan Harimau Loreng. “Warga di sekitar sini bisa membedakan antara Macan Kembang Asem dan Macan Tutul ataupun Kumbang. Kalau Kembang Asem bentuknya loreng dan ukurannya lebih besar dibanding Tutul atau Kumbang,” kata Mu’alim lagi.

“Pasti yang makan Macan Kembang Asem (istilah lokal untuk menyebut Harimau Jawa -her), karena beberapa hari sebelumnya banyak orang desa yang melihat. Warga juga niteni, macan besar itu pasti turun setiap bulan Maulud,” jelas Mu’alim yakin.

Didik Raharyono SSi, Koordinator Tim Pembela dan Pencari Fakta Harimau Jawa (TPPFHJ) sub divisi Pembelaan dan Pengkajian Lingkungan KAPPALA Indonesia mendukung pendapat masyarakat tentang Harimau Jawa, karena hutan di sekitar Gunung Slamet merupakan salah satu habitatnya. “Indikasi keberadaan Macan Loreng di Slamet sangat besar. Kami sudah melakukan pemantauan di hutan Slamet sejak setahun yang lalu,” ujar Didik.

Menurutnya, khusus untuk wilayah Krajan dan sekitarnya, TPPFHJ bersama Forum Dinamika Kepencintaalaman (FORDIK) Purwokerto sedang melakukan pemantauan bersama. Ditambahkan Didik, selama pemantauan di sekitar lokasi tim menemukan jejak yang berukuran besar, kotoran yang mengandung rambut satwa dan cakaran. “Jelas beda antara jejak Macan Tutul atau Kumbang dengan Macan Loreng. Kalau Loreng umumnya memiliki ukuran jejak lebih besar dibanding Tutul dan Kumbang. Kami saat ini sedang melakukan analisis rambut hasil temuan untuk memastikan satwa mangsa, tapi dari kenampakannya mirip rambut lutung,” jelas Didik yang peneliti hidupan liar lulusan Biologi UGM itu.

Menurutnya, hutan sekitar Krajan memang sangat potensial menjadi habitat Harimau Jawa, antara lain karena prey atau hewan mangsa masih sangat melimpah, seperti kijang, babi hutan, landak, trenggiling dan lutung. Vegetasi hutan juga masih mendukung, karena banyak tumbuhan tepus, ilalang, glagah, bambu, kaliandra, rotan, kenduru dan pakis.

Didik mengakui, temuan cakaran, jejak, rambut maupun kotoran Harimau Jawa menjadi data yang sangat berharga, karena untuk menemukan sosoknya langsung memang sulitnya bukan main. “Macan Loreng memiliki karakter sangat rapi saat menyembunyikan diri. Meski badannya tergolong besar, lebih besar dari Harimau Sumatera, tapi waktu berjalan tidak berisik,” ujar Didik menjelaskan.

Mu’alim setuju pendapat tersebut. “Orang tua saya malah pernah menemukan kijang sedang sekarat di hutan. Waktu nengok sambil teriak memanggil temannya, sekelabat kijang itu sudah hilang. Jadi sebenarnya Harimau Loreng sangat dekat sama bapak saya, tapi dia tidak tahu,” kisah Mu’alim.  


Timbunan Tulang

Di Jogjakarta akhir Juni lalu, TPPFHJ juga menemukan jejak dan kotoran yang disinyalir milik Harimau Jawa. Temuan tersebut dikumpulkan ketika TPPFHJ melakukan pemantauan bersama petugas Jagawana UKSDA Kanwil Kehutanan DIY di wilayah Pundong, Bantul.

Menurut Didik, kondisi kawasan sekitar temuan masih memungkinkan menjadi habitat satwa langka tersebut karena banyaknya gua dan ketersediaan prey, misalnya musang, landak dan tikus. “Cuma, kondisi habitat di Bantul sangat berbeda dengan hutan Slamet. Di Bantul Harimau harus memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi, karena hewan mangsa seperti kijang atau babi hutan tidak melimpah seperti di hutan Slamet. Buktinya, dari sampel kotoran kami temukan sisa-sisa remukan tulang satwa mangsa. Terus di lokasi tersebut kami juga menemukan timbunan tulang banyak sekali,” ujar Didik Raharyono.

“Gua-gua di sekitar dusun memang menjadi tempat istirahat Macan. Warga di sekitar sini juga pernah memergoki Macan Loreng tersebut,” kata Adi Winoto, Kepala Dusun di Pundong. Adi Winoto menambahkan, beberapa warga pernah memergoki Macan Loreng saat akan pergi ke ladang. Adi juga optimis, untuk ketemu harus menginap beberapa malam sambil membuat api unggun.

“Pernah ada seorang pertapa dari Imogiri tiba-tiba membatalkan niatnya karena didatangi Macan Loreng,” kata Adi lagi. Tempat-tempat itu memang jarang dijamah warga dusun, kecuali orang luar desa yang memang sengaja akan bertapa.

TPPFHJ tengah mengadakan kajian data-data temuan untuk menentukan prioritas pemantauan di lokasi-lokasi yang dianggap paling tepat. “Sekarang kami juga sedang mengupayakan pemotretan dengan kamera trap sistem inframerah. Kameranya pinjam ke Taman Nasional Meru Betiri. Pokoknya kami akan total riset untuk Macan Jawa, masak pelaporan masyarakat selalu diremehkan jika mengatakan masih menjumpai Macan Loreng,” ujar Didik semangat. Dari hasil pantauan TPPFHJ, beberapa tempat di Jogjakarta juga sering dikunjungi macan, misalnya di sekitar daerah Paliyan, Gunungkidul.

“Biarkan para pakar ngomong punah. Mereka toh bukan masyarakat lokal yang tinggal dekat hutan. Bukan masyarakat yang hidup dari hutan. Nah, tinggal kita percaya yang mana, masyarakat lokal atau para pakar?” ujar Didik saat ditanya tentang label punah atas Harimau Jawa.

Selama tiga tahun ini TPPFHJ melakukan studi dan pemantauan Harimau Jawa dari berbagai tempat, seperti di Meru Betiri, Raung, Ijen, Penanggungan, Arjuno, Wilis, Muria, Blora, hutan Gunung Slamet, sampai Jogjakarta, di Bantul dan Gunungkidul. “Dalam pemantauan kami tidak pernah sendiri, tapi melibatkan jagawana, pencinta alam dan masyarakat tepi kawasan misalnya pemburu, pawang macan, dan pencari kayu. Cita-cita kami pusat study Harimau Jawa harus ada di Jogjakarta, karena berbagai sampel temuan yang mengindikasikan keberadaan Harimau Jawa saat ini kita koleksi di Kappala, untuk kita pelajari bekas aktivitasnya” kata Didik menjelaskan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak