Indikasi keberadaan Harimau Jawa sebenarnya tidak hanya di Gunungkidul. Sejak tahun 1997 – sekarang kami berpetualang mengembara membuntuti aktivitas yang ditinggalkan Harimau Loreng dari Alas Purwo sampai Gunung Slamet.
Kepunahan Harimau Jawa muncul akibat laporan WWF 1994 yang tidak mendapatkan sosok fotonya setelah memasang 10 kamera trap sistem injak selama satu tahun di TN. Meru Betiri seluas 58.000 hektar. Akibat pernyataan punah dari WWF dan dikuatkan PHKA, maka setiap ada pelaporan perjumpaan Harimau Jawa oleh masyarakat selalu dianggap cerita mitos.
Tulisan saudara Jajang Agus Sonjaya (Kompas 19 Juli) alenia X kalimat terakhir “....Si Mbah yang dianggapnya sebagai binatang jadi-jadian”, merupakan bukti bahwa Harimau Jawa berdasarkan penuturan masyarakat disimpulkan sebagai binatang mitos. Tetapi terbantah ketika dijelaskan “... harimau itu bertubuh besar dan berkulit loreng, langkahnya sangat tenang dan meninggalkan jejak tapak kaki di tanah” (alenia XII kalimat terakhir). Kalimat ini menguatkan perilaku Harimau Loreng, langkah tenang karena dia predator tertinggi di ekosistem. Jika binatang jadi-jadian maka tidak meninggalkan jejak di tanah.
Usaha menyakinkan keberadaan Harimau Jawa tanpa sosok foto terbarunya, dirintis Mitra Meru Betiri (MMB) ketika presentasi di Seminar Nasional Harimau Jawa 1998 yang diselenggarakan Matalabiogama Fakultas Biologi UGM. Seminar tersebut dihadiri oleh PHKA, STP, LIPI, WWF, STI, Kebun Binatang Surabaya, KB. Ragunan, KB. Bandung dan Dosen dari berbagai Perguruan Tinggi. Bukti keberadaan Harimau Jawa di seminar itu didasarkan pada temuan jejak tapak kaki, kotoran, cakaran dan foto rambut perbesaran 400 kali. Akhirnya direkomendasikan untuk memantau semua daerah yang masih ada pelaporan perjumpaan dengan Harimau Jawa.
Sejak itu saya berpetualang dan mengumpulkan bukti keberadaan Harimau Jawa berdasarkan informasi perjumpaan atau pembunuhan satwa ‘punah’ ini. Informasi perjumpaan Harimau Jawa saya peroleh dari Pemburu lokal, Pecinta Alam, Jagawana, Perbakin dan Mandor Perhutani.
Februari 1999 kami bersama BKSDA Jatim II merambah kawasan Gunung Merapi Ungup-ungup, Ijen, Rante, Panataran dan Raung. Penelusuran dilakukan oleh 8 regu, masing-masing regu beranggotakan 4 – 5 orang selama 15 hari didalam hutan. Hasil penelusuran tersebut ditemukan bukti keberadaan Harimau Jawa di Gunung Raung, Panataran dan Ijen berdasarkan temuan rambut yang terselip di luka cakaran dan kotoran.
April 1999 saya bersama peserta Pendidikan Lingkungan Kapai membongkar kelebatan hutan Gunung Slamet sisi Barat dan Selatan selama 15 hari. Hasil temuan berupa cakaran di pohon dengan rambut yang terselip, juga kotoran dan jejak. Keberadaan Harimau Jawa di Gunung Slamet diperkuat oleh penuturan masyarakat Pekuncen yang telah membunuh Harimau Loreng tahun 1997. Rambut dari kulit Harimau Loreng sisa pembunuhan tahun 1997 berhasil diidentifikasi menggunakan mikroskup elektron sebagai rambut Harimau Jawa.
Februari sampai Maret 2000 kami mengulangi pemantauan di Gunung Slamet selama satu bulan penuh. Meskipun perjumpaan langsung dengan Harimau Jawa belum terjadi, setidaknya cakaran dan rambutnya kami temukan. Keyakinan tersebut dikuatkan penduduk pengambil kayu di hutan bahwa Harimau Loreng sering mengikuti jalan setapak yang dibuatnya. Saat berpapasan terlihat acuh, oleh penduduk Harimau Loreng disebut "Macan Budeg".
Agustus 2000 ketika saya melakukan investigasi pembangunan jalan Triangulasi – Plengkung di TN. Alas Purwo. Pada perjalanan pulang menuju Dam Buntung, kami bertemu Pak Bura’i dari Situbondo dan Beliau bertanya apakah tadi berpapasan dengan Harimau Loreng di hutan Jati. Sebab 5 menit yang lalu sebelum kami lewat, Pak Bura’i sempat melihat harimau loreng mengaum dari jarak 10 meter.
Desember 2000 saya mengejar informasi perjumpaan Harimau Loreng di Gunungkidul bersama Jagawana dari UKSDA DI.Jogjakarta. Meskipun bukti temuan menunjukkan bekas aktifitas Macan Tutul, namun beberapa kepala Dusun menyakini bahwa masih sering dijumpai Harimau Loreng saat musim kemarau atau ketika ada warga yang meninggal. Lama penungguan di makam yang baru dikubur berkisar dari 7 sampai 20 hari. Keberadaan Harimau Loreng di Gunungkidul dikuatkan oleh temuan cakaran di batu cadas penutup mulut song Bejono di Ponjong yang menjadi tempat persembunyiannya.
Agustus 2001 saya mengejar informasi terbunuhnya Harimau Loreng di lereng Utara Gunung Muria Jawa Tengah. Meskipun baru sebatas informasi, setidaknya mandor perhutani menyakini masih melihat tulang belulang loreng yang baru saja dibantai warga. Seorang kepala Hansip perkebunan kopi bahkan yakin masih melihat Harimau Loreng setiap panen kopi (antara Bulan Agustus-September). Ketika bertugas diperbatasan kebun dengan hutan, dia dihampiri Gembong yang ikut menghangatkan diri di perapiannya. Data penguat terakhir adalah penuturan dari PA UMK saat melakukan pengembaraan di Lereng Selatan Gunung Muria, berpapasan Harimau Loreng bertubuh besar dan sempat disaksikan oleh satu regu yang terdiri dari 6 orang.
Pecinta Alam dari Solo (Dinamik Faperta UNS) melaporkan pernah berpapasan dengan Macan Loreng di Lawu tahun 1998 dan disaksikan semua anggota tim SRU sekitar 5 orang saat berlatih SAR. Pak Tarjo Polhut Lawu juga pernah bertemu Harimau Loreng ketika melakukan patroli di hutan.
Kehadiran individu Harimau Jawa tersisa dapat dibuktikan dari bekas aktivitas dan sisa bagian tubuhnya, meskipun secara Internasional Harimau Jawa sudah divonis punah. Hal ini membuktikan bahwa pengamatan Harimau Jawa sudah seharusnya dilakukan masyarakat Jawa sendiri, tanpa harus tergantung kepada peneliti asing.