Pembuktian Harimau Punah: Gagal

Abstrak

Sejak awal memulai pergerakan, usaha saya telah digagalkan pemburu macan yang masih aktif membantai harimau jawa. Sebagian bukti-bukti spesimen itu diberikan kepada saya. Tahun-tahun berikutnya pembuktian perihal punahnya harimau jawa selalu gagal karena bukti bekas aktivitasnya masih ditemukan dan saya dokumentasikan. Bekas aktivitas itu jauh lebih besar daripada ukuran milik macan tutul jawa. Tujuhbelas tahun kemudian pembuktian kepunahan harimau jawa: GAGAL, dikarenakan 2 foto hasil bidikan kamera ‘penggiat alam’ dikirimkan Awal dan Pertengahan Nopember 2014 ke email saya - sosok harimau jawa. Lantas reaksi konservasi seperti apa yang akan dipilih? Dan bagaimana strateginya agar tetap berorientasi pada perlindungan habitat-ekosistem-bentang alam serta satwa-satwa sumber asupan pakannya selain harimau jawa itu sendiri? Mengingat status kawasan dimana harimau jawa itu difoto bukan kawasan konservasi.

 

Awal Pembuktian yang Merujuk pada Kegagalan

Sebelum berminat terhadap usaha pembuktian kepunahan harimau jawa, sekitar tahun 1996, saya mendapatkan sobekan kulit harimau jawa yang dibunuh dari hutan jati di Jawa Tengah. Sobekan kulit ini telah bertuliskan rajah, menggunakan huruf arab dan tinta merah. Sosok pola loreng masih terlihat dengan jelas, bahkan sempitnya garis hitam juga masih terekam. Konon satwa ini diburu dengan cara ‘dicempuling’ oleh pemburu yang mengendus kehadirannya di hutan jati tersebut hanya mengandalkan temuan jejak tapak kaki di tanah, dan akhirnya terlacak kehadiran harimau jawa itu lalu dibunuh. Kejadian pembunuhan ini tahun 1995, tigaratusan kilometer lebih dari habitat terakhir harimau jawa yang dianggap hanya di Meru Betiri Jawa Timur bagian Selatan.

 

Pembuktian Harimau Punah Gagal
Sobekan kulit Panthera tigris sondaica dibunuh 1995


Keberminatan terhadap usaha pembuktian kepunahan harimau jawa, baru muncul selepas pendidikan lingkungan – Kapai tahun 1997. Penyusuran kesegenap pelosok Meru Betiri selama sekitar 20 hari didampingi pemandu lokal yang paham lokasi, masih saja berhasil menjumpai bekas-bekas aktivitas yang terklaim sebagai milik harimau jawa. Tentunya setelah menggunakan berbagai metode parameter penapisan data agar mempunyai tingkat perbedaan yang sahih dengan bekas aktivitas milik macan tutul jawa. Meru Betiri juga menjadi habitat macan tutul jawa. Pendekatan ukuran meliputi: diameter feses, tinggi cakaran tertinggi dari permukaan tanah, jarak antar dua goresan bekas cakaran kuku yang dianggap seumuran dan besarnya ukuran jejak tapak kaki, sengaja dipilih agar jelas siapa pemiliknya: harimau jawa atau macan tutul jawa. Temuan bekas aktivitas diklaim sebagai milik harimau jawa apabila seukuran atau jika lebih besar dari bekas aktivitas harimau sumatera hasil pengukuran di kebun binatang Surabaya Jawa Timur. Di akhir kegiatan, juga disimpulkan bahwa usaha pembuktian kepunahan harimau jawa di TNMB mengalami kegagalan, sebab eksistensi harimau jawa masih juga ditemukan.

Kurang puas dengan hasil kesimpulan para peserta PL-Kapai (Agustus 1997), maka diadakan Seminar Nasional Harimau Jawa di UC UGM oleh Matalabiogama pada bulan Desember 1998. Pada acara ini juga direkomendasikan untuk dilakukan kegiatan ulang pembuktian kepunahan harimau jawa, dan kawasan kajian di perluas se-Jawa. Kegagalan pembuktian kepunahan harimau jawa yang hanya berdasarkan bukti bekas aktivitasnya ini saya rangkum menjadi buku, setelah disempurnakan bentuk penulisannya oleh Bapak Eko Teguh Paripurno diberi judul Berkawan Harimau Bersama Alam.

 

Tujuh Belas Tahun Berakhir pada Gagal

Bukti spesimen sisa pembunuhan harimau jawa yang saya koleksi berdasarkan temuan dan pemberian dari berbagai ‘narasumber’ sebenarnya sudah sangat jelas menggagalkan tujuan pembuktian ‘kepunahan’ harimau jawa. Sampel-sampel yang saya koleksi tersebut saat ini masih berada di berbagai laboratorium guna di-analisis DNA-nya. Namun sampai dengan tulisan ini saya buat, masih belum ada hasilnya (walaupun ada satu laboratorium yang telah mengembalikan semua sampel kiriman saya).

Sekeluar saya dari hutan di Borneo Utara, sebuah kejutan besar membuyarkan pembuktian kepunahan harimau jawa yang sejak tujuhbelas tahun yang lalu sudah saya ragukan. Kiriman foto sosok harimau loreng di lantai hutan jati di kawasan Propinsi Jawa Timur, jelas sangat menguatkan bahwa pembuktian saya tentang kepunahan harimau jawa: gagal. Berselang dua minggu kemudian ada kiriman lagi sosok jelas foto harimau jawa yang sedang melintas di hutan pinus di sebuah lereng gunung di Jawa Tengah, juga semakin memperkuat perihal kegagalan tentang usaha pembuktian punahnya harimau jawa.


Pembuktian Harimau Punah: Gagal

Panthera tigris sondaica dari Jawa Timur (difoto oleh @rhda)


Sosok foto harimau jawa di hutan jati, dihasilkan oleh ‘mahasiswa’ yang sedang melakukan studi berkaitan dengan kajian ilmu kebumian, dan bukan secara khusus melakukan kajian karnivor besar di Jawa. Perjumpaan terjadi secara tidak disengaja, begitu berjumpa, langsung difoto, kemudian si pemotret berlari keluar hutan. Kejadian pemotretan berkisar di bulan Juli 2014.


Pembuktian Harimau Punah: Gagal
Panthera tigris sondaica dari Jawa Tengah (difoto oleh @bys)


Sosok foto harimau jawa di hutan pinus, difoto dengan hasil yang sangat jelas, menunjukkan sebuah aktivitas bahwa harimau jawa sedang melintas. Waktu pemotretan masih belum diketahui terjadinya tahun berapa, (tetapi masih dicoba untuk ditelusuri penulis) yang jelas sepertinya diatas tahun 2010.

 

Gagal Punah, Lantas?

Strategi konservasi karnivor besar di Jawa sungguh rumit. Pulau ini telah dihuni manusia dengan tingkat kepadatatan tertinggi di Indonesia. Habitat tutupan hutan telah terfragmentasi. Satwa liar yang menjadi sumber asupan pakan harimau jawa juga menjadi sumber perburuan sehari-hari oleh manusia. Tetapi dua sosok foto harimau jawa diatas telah membuktikan bahwa harimau jawa masih eksis (gagal punah).

Hitungan para ahli ekologi selalu mengatakan kalaupun harimau jawa saat ini masih tersisa sebagai individu-individu, maka fungsinya secara ekologis itulah yang dianggap ‘PUNAH’. Walaupun masih sebatas ‘hipotesis’, tetapi klaim kepunahan harimau jawa secara ekologis ini amat jumawa untuk menisbikan eksistensi harimau jawa (secara individu). Usaha saya sejak tujuhbelas tahun yang lalu untuk membuktian eksistensi individu-individu harimau jawa berdasarkan temuan bekas aktivitasnya, akhirnya saat ini dikuatkan dengan 2 foto kiriman diatas.

Menariknya, 2 foto harimau jawa diatas justru dijumpai BUKAN dikawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam ataupun Suaka Margasatwa. Hal itu juga bisa mengandung arti: bahwa justru dikawasan-kawasan konservasi ‘PATUT DIDUGA’ tentang eksistensi harimau jawa (walaupun hanya dituturkan kesaksiannya oleh para pemburu lokal). Oleh karena itu, harus lebih giat lagi untuk dilakukan pemantauan secara stasioner dan berkelanjutan terhadap eksistensi harimau jawa. Akan tetapi hal yang terpenting adalah sistem manajemen perlindungan populasi satwa mangsa, dimana sebagian besar karnivor populasinya akan meningkat seiring dengan tingkat ketersediaan pakan yang melimpah.


Orientasi Konservasi Selanjutnya

Rantai makanan sudah sangat jelas kita pelajari sejak Sekolah Dasar. Tetapi aplikasi pemahamannya masih gagal diterapkan. Kepahaman bahwa harimau jawa itu tergolong sebagai karnivor pemakan daging sudah kita miliki, tapi perlindungan terhadap satwa-satwa sumber pakannya masih lemah. Sehingga guna menopang daya dukung habitat untuk keberlanjutan hidupnya jelas masih sangat minim. Jika diperbandingkan dengan manusia, maka harimau jawa ini hidup sangat jauh dibawah ‘garis kemiskinan’.

Belum lagi terkait dengan status kawasan dimana harimau jawa masih eksis saat ini, tentulah akan banyak perdebatan yang mengemuka. Hutan jati jelas menunjukkan sebagai salah satu hutan produksi di Jawa, berikut juga dengan hutan pinus. Jelas keduanya bukan merupakan hutan alam. Walaupun ada catatan bahwa di hutan jati dataran rendah di kawasan Tegal-dan sekitarnya, pada tahun 1860 -1890-an hampir 3.000 ekor harimau jawa dibunuh dalam rentang waktu 30 tahun.

Kenyataan di lapangan yang dijumpai penulis, masih belum terjadinya sinegitas berbagai pemangku kawasan dimana harimau jawa dijumpai. Pengelola hutan produksi masih berfokus pada kayu dan agak mengabaikan fauna didalamnya; sedangkan pihak pengelola satwa dilindungi kurang berkenan dalam mengurusi satwa-satwa target yang hidupnya dikawasan pihak lain. 

Oleh karena itu, marilah kita gagas sebuah model konservasi untuk harimau jawa di Pulau yang terpadat penduduknya ini, dengan menumbuhkan kesadaran semua pihak, tentang pentingnya nilai perlindungan bentang lahan, yang didalamnya juga ada kegiatan manusia sebagai bagian dari alam itu sendiri. Bahwa harimau jawa masih eksis sampai saat ini di kawasan hutan ‘non konservasi’ tentunya ada peran warga dan masyarakat lokal -baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Catatan: Mohon maaf, jika lokasi hutan belum ditampilkan penulis, mengingat strategi konservasi ‘kehati-hatian’ untuk spesies yang sudah ‘gagal punah’ ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak